KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
NOMOR : 1456 K/20/MEM/2000
TENTANG
PEDOMAN PENGELOLAAN KAWASAN KARS
MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL
Menimbang :
a. Bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992, telah ditetapkan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1518 K/20/MPE/1999 tanggal 29 September 1999 tentang Pengelolaan Kawasan Kars.
b. Bahwa dengan telah ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom, perlu meninjau kembali Keputusan Menteri dimaksud.
Mengingat :
1. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 (LN Tahun 1967 Nomor 22, TLN Nomor 2831).
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 (LN Tahun 1990 Nomor 49, TLN Nomor 3419).
3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 (LN Tahun 1992 Nomor 115, TLN Nomor 3502).
4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 (LN Tahun 1997 Nomor 68, TLN Nomor 3699).
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 (LN Tahun 1999 Nom9r 60, TLN Nomor 3839).
6. Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 (LN Tahun 1999 Nomor 72, TLN Nomor 3848).
7. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 (LN Tahun 1969 Nomor 60, TLN Nomor 2916) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 1992 (LN Tahun 1992 Nomor 130, TLN Norrlor 3510).
8. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980 (LN Tahun 1980 Nomor 47, TLN Nomor 3174).
9. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1986 (LN Tahun 1986 Nomor 53, TLN Nomor 3340).
10. Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1997 (LN Tahun 1997 Nomor 96, TLN Nomor 3721).
11. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 (LN Tahun 1999 Nomor 59, TLN Nomor 3838).
12. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 (LN Tahun 2000 Nomor 20, TLN Nomor 3934).
13. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 (LN Tahun 2000 Nomor 54, TLN Nomor 3952).
14. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tanggal 10 Agustus 1990.
15. Keputusan Presiden Nomor 234/M Tahun 2000 tanggal 23 Agustus 2000.
16. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 1748 Tahun 1992 tanggal 31 Desember 1992 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor 169 Tahun 1998 tanggal 17 Februari 1998.
MEMUTUSKAN :
MENETAPKAN :
KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PEDOMAN
PENGELOLAAN KAWASAN KARS
BAB I, KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Kawasan kars adalah kawasan batuan karbonat (batugamping dan dolomit) yang memperlihatkan morfologi kars.
2. Kars adalah bentukan bentang alam pada batuan karbonat yang bentuknya sangat khas berupa bukit, lembah, dolina dan gua.
3. Proses karstifikasi adalah proses alam yang menyebabkan terbentuknya kars.
4. Dolina adalah lekuk tertutup di permukaan kawasan kars yang terjadi akibat proses pelarutan dan atau peruntuhan.
5. Gua aktif adalah gua yang mempunyai aliran sungai bawah tanah.
6. Gua tidak aktif atau gua fosil adalah gua kering yang kadang-kadang dibanjiri oleh air asal permukaan.
7. Speleotem adalah bentukan alam hasil pengendapan ulang larutan jenuh kalsium karbonat (CaCO3) yang menghiasi bagian dalam gua, yang berupa stalaktit, stalakmit, pilar dan flowstone.
8. Proses geologi di kawasan kars adalah rangkaian peristiwa alam yang disebabkan oleh sifat bumi yang dinamis, berupa pelarutan, pelapukan, erosi, pengendapan ulang, pembatuan, pengangkatan, pelipatan dan pensesaran.
9. Flora dan fauna kars adalah vegetasi dan binatang yang hidup dan berkembang biak secara alami di lingkungan kawasan kars, beberapa jenis fauna gua seperti walet dan kelelawar mempunyai nilai ekosistem yang tinggi.
10. Akuifer adalah lapisan batuan yang dapat menyimpan dan sekaligus meluluskan air dalam jumlah yang cukup.
11. Pengelolaan kawasan kars adalah kegiatan yang meliputi inventarisasi, penyelidikan, pemanfaatan, dan perlindungan sumberdaya batuan karbonat bermorfologi kars.
12. Inventarisasi adalah kegiatan untuk menentukan kawasan kars.
13. Kegiatan inventarisasi adalah menarik batas-batas kawasan batugamping dan atau dolomit yang mempunyai bentang alam kars, yang mungkin terdapat pada singkapan batuan karbonat, yang diujudkan dalam bentuk peta berskala 1 : 250.000.
14. Penyelidikan adalah kegiatan untuk menentukan klasifikasi kawasan kars.
15. Kegiatan penyelidikan adalah pengklasifikasian kawasan kars yang diujudkan dalam peta klasifikasi kawasan kars berskala 1 : 100.000.
16. Pemanfaatan dan perlindungan kawasan kars adalah semua usaha atau kegiatan di kawasan kars dengan mempertimbangkan daya dukung fungsi lingkungan, yang merupakan hubungan timbal balik yang dinamis antara manusia dengan sumberdaya alam di sekitarnya.
17. Objek wisata adalah benda atau tempat yang memiliki daya tarik karena keindahan, keunikan, dan kelangkaannya.
18. Benda bersejarah adalah benda yang mempunyai arti arkeologi dan antropologi penting berupa fosil, benda-benda hasil budaya, piranti (artefak), lukisan dan prasasti yang ada di kawasan kars.
19. Data primer adalah data hasil penyelidikan, baik melalui kegiatan lapangan maupun inderaan jauh.
20. Data Sekunder adalah informasi yang dikumpulkan dari berbagai laporan atau publikasi hasil penyelidikan atau penelitian sebelumnya.
21. Menteri adalah Menteri yang bidang tugasnya meliputi bidang geologi, sumberdaya mineral dan pertambangan.
22. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal yang bidang tugasnya meliputi geologi dan sumberdaya mineral.
23. Instansi atau lembaga terkait adalah instansi atau lembaga yang membidangi dalam negeri, pertahanan, pariwisata, pendidikan, kebudayaan, kehutanan dan perkebunan, pertanian, pekerjaan umum, lingkungan pemukiman, agama, lembaga penelitian dan lembaga swadaya masyarakat.
BAB II, TUJUAN DAN SASARAN
Pasal 2
(1). Pengelolaan kawasan kars bertujuan mengoptimalkan pemanfaatan kawasan kars, guna menunjang pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
(2). Pengelolaan kawasan kars mempunyai sasaran :
a. meningkatkan upaya perlindungan kawasan kars, dengan cara melestarikan fungsi hidrogeologi, proses geologi, flora, fauna, nilai sejarah serta budaya yang ada di dalamnya;
b. melestarikan keunikan dan kelangkaan bentukan alam di kawasan kars;
c. meningkatkan kehidupan masyarakat di dalam dan di sekitarnya;
d. meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan.
BAB III, NILAI KAWASAN KARS
Pasal 3
Kawasan kars mempunyai beberaps nilai yang sifatnya strategis, berupa:
a. Nilai ekonomi, berkaitan dengan usaha pertanian, kehutanan, pertambangan, pengelolaan air dan pariwisata.
b. Nilai ilmiah, berkaitan dengan ilmu-ilmu kebumian, speleologi, biologi, arkeologi dan paleontologi.
c. Nilai kemanusian, berkaitan dengan keindahan, rekreasi, pendidikan, unsur-unsur spiritual dan agama atau kepercayaan.
BAB IV, INVENTARISASI DAN PENETAPAN KAWASAN KARS
Pasal 4
(1). Inventarisasi dapat dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal;
b. Gubernur, Bupati, Walikota atau pimpinan instansi/lembaga terkait;
c. Pimpinan organisasi profesi atau pihak lain yang bergerak di bidang kars.
(2). Inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kegiatan :
a. Pembuatan peta sebaran kars berskala 1 : 250.000;
b. Penyusunan laporan teknis hasil inventarisasi.
Pasal 5
(1). Pembuatan peta sebaran kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a, meliputi :
a. Melakukan kajian pustaka, termasuk pengumpulan data dan informasi geologi, citra inderaan jauh dan peta dasar topografi yang berkualitas baik;
b. Melakukan pencirian jenis-jenis unsur bentangan alam kars dari data primer dan atau data sekunder;
c. Melakukan pencirian lokasi unsur-unsur kars pada peta topografi yang digambarkan setepat mungkin;
d. Melakukan penggambaran penyebaran kawasan kars sementara, yang perlu dikaji ulang kebenaran dan ketepatannya dengan penilikan di lapangan;
e. Menyusun peta sebaran kawasan kars berskala 1 : 250.000, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku dan dilengkapi dengan laporan.
(2). Penyusunan laporan, teknis hasil inventarisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b, yang berisi :
a. gambaran umum kawasan kars, termasuk kesampaian daerah;
b. uraian secara rinci tataan geologi kawasan kars (fisiografi, pola
aliran sungai, stratigrafi, struktur dan tektonika);
c. uraian secara rinci unsur-unsur bentang alam kars, khususnya eksokars;
d. potret-potret yang berhubungan;
e. khusus untuk gua perlu dilengkapi dengan informasi koordinat mulut gua, bentuk dan ukuran mulut gua, letak mulut gua (di dasar, lereng, puncak bukit), jenis gua (fosil, berair, musiman), perian singkat aspek hayati lingkungan gua (jenis tanaman di sekitar gua, jenis binatang troglofil), legenda atau kepercayaan setempat.
Pasal 6
(1). Laporan teknis hasil kegiatan inventarisasi kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 disampaikan kepada Menteri.
(2). Menteri menetapkan kawasan kars berdasarkan hasil laporan teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
BAB V, PENYELIDIKAN DAN PENETAPAN KLASIFlKASI KAWASAN KARS
Pasal 7
(1). Berdasarkan hasil penetapan kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) dilakukan penyelidikan untuk menentukan klasifikasi kawasan kars.
(2). Penyelidikan dapat dilakukan oleh :
a. Direktur Jenderal;
b. Bupati, Walikota atau pimpinan instansi/lembaga yeng terkait;
c. Pimpinan organisasi profesi atau pihak lain yang bergerak di bidang kars.
Pasal 8
Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) meliputi :
a. Pengumpulan data dan informasi;
b. Pembuatan peta klasifikasi kawasan kars berskala 1 : 100.000;
c. Penyusunen laporan teknis hasil penyelidikan.
Pasal 9
(1). Pengumpulan data dan informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu :
a. Melakukan kajian rinci daerah tangkapan air dan daerah imbuhan air, yang secara fisik bertujuan menciri muka air bawah tanah rata-rata di kawasan kars dan hal-hal lain yang berkaitan serta mendukung fungsi umum hidrologi;
b. Mengkaji secara rinci jumlah total air yang masuk dan ke luar di kawasan kars, sehingga dapat diciri jumlah air yang tertampung di dalam sistem pori-pori batuan, celah, retakan dan gua;
c. Melakukan pemetaan geologi rinci kawasan eksokars yang meliputi jenis, sifat fisik, penyebaran, ketebalan lapisan, hubungan antar lapisan serta tabulasi arah, kedudukan dan besaran unsur-unsur struktur geologi;
d. Melakukan kajian laboratorium yang memadai untuk mendukung data dan informasi geologi yang akurat;
e. Melakukan pemetaan gua dan jaringannya, termasuk inventarisasi unsur-unsur endokars yang ada;
f. Melakukan inventarisasi :
1. Lokasi industri yang memanfaatkan batugamping, termasuk usaha penggalian oleh rakyat dan skalanya;
2. Demografi (jumlah penduduk dan penyebarannya), sosio ekonomi dan sosio budaya penduduk kawasan kars;
3. Jenis, penyebaran dan kerapatan vegetasi di kawasan kars;
4. Pemanfaatan lahan (pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan, pariwisata);
5. Lokasi dan jenis-jenis peninggalan sejarah atau situs arkeologi yang terdapat di permukaan kawasan kars dan di dalam gua;
6. Jenis-jenis flora-fauna kars, baik yang bersifat endemis maupun yang dapat ditemukan di semua kawasan kars, terutama yang bersifat ekonomi;
7. Jenis kawasan lindung yang sudah ada di kawasan kars;
8. Nilai-nilai strategis kawasan kars yang berkaitan dengan pengembangan ilmu pengetahuan, ekonomi dan kemanusiaan.
(2). Pembuatan peta klasifikasi kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf b, yaitu:
a. Menentukan batas masing-masing kelas kawasan, yang penggambarannya diwujudkan dalam bentuk warna-warna baku dan dibuat dengan menggunakan kaidah-kaidah penyusunan
peta yang berlaku secara umum;
b. Peta disusun di atas peta dasar topografi yang baik dan dilatarbelakangi oleh peta geologi yang disederhanakan dari daerah di luar kawasan kars;
c. Peta dilengkapi dengan keterangan pinggir, sebagai penjelasan atau informasi ringkas mengenai unsur-unsur yang terdapat di dalam peta;
d. Menyusun peta klasifikasi kawasan kars berskala 1 : 100.000, dengan menggunakan kaidah-kaidah yang berlaku dan dilengkapi dengan laporan.
(3). Penyusunan laporan teknis hasil penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf c, berisi :
a. Uraian secara rinci sistem hidrologi kars, termasuk daerah tangkapan air di luar kawasan kars dan daerah penyangga yang berfungsi menjadi pengimbuh air;
b. Uraian secara rinci unsur-unsur eksokars dan endokars, terutama bentuk fisik hasil pelarutan dan proses geologi lainnya yang khas, yang mencirikan kawasan kars tersebut;
c. Uraian secara rinci tataan stratigrafi kawasan kars, termasuk jenis litologi, nilai kesarangan (porositas) dan kemampuan meluluskan air (permeabilitas) batuan, kedudukan lapisan, ketebalan serta hubungan antara satuan batugamping dengan satuan lain yang menindih dan mengalasinya;
d. Uraian secara rinci struktur geologi, termasuk jenis unsur-unsur struktur yang ada, besaran, kerapatan serta hal-hal lainnya yang berkaitan dengan sifat dinamika bumi;
e. Peta-peta (hidrologi, geologi, jaringan gua) dan potret lapangan.
Pasal 10
(1). Laporan teknis hasil kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 disampaikan kepada Menteri dan Bupati/Walikota.
(2). Bupati/Walikota menetapkan klasifikasj kawasan kars melalui Peraturan Daerah.
(3). Penetapan klasifikasi kawasan kars yang penyebarannya melintasi batas kabupaten/kota ditetapkan oleh Gubernur.
(4). Penetapan klasifikasi kawasan kars yang penyebarannya melintasi batas propinsi dilakukan melalui koordinasi dengan Instansi terkait.
(5). Bupati/Walikota dan atau Gubernur wajib memberikan salinan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3)kepada Menteri.
Pasal 11
Klasifikasi kawasan kars sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dibagi menjadi 3 kelas, yaitu Kawasan Kars Kelas I, Kawasan Kars Kelas II, dan Kawasan Kars Kelas III.
Pasal 12
(1). Kawasan Kars Kelas I merupakan kawasan yang memiliki salah satu, atau lebih kriteria berikut ini :
a. berfungsi sebagai penyimpan air bawah tanah secara tetap (permanen) dalam bentuk akuifer, sungai bawah tanah, telaga atau danau bawah tanah yang keberadaannya mencukupi fungsi umum hidrologi:
b. mempunyai gua-gua dan sungai bawah tanah aktif yang kumpulannya membentuk jaringan baik mendatar maupun tegak yang sistemnya mencukupi fungsi hidrologi dan ilmu pengetahuan;
c. gua-guanya mempunyai speleotem aktif dan atau peninggalanpeninggalan sejarah sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi objek wisata dan budaya;
d. mempunyai kandungan flora dan fauna khas yang memenuhi arti dan fungsi sosial, ekonomi, budaya serta pengembangan ilmu pengetahuan.
(2). Kawasan Kars Kelas II merupakan kawasan yang memiliki salah satu atau semua kriteria berikut ini :
a. berfungsi sebagai pengimbuh air bawah tanah, berupa daerah tangkapan air hujan yang mempengaruhi naik-turunnya muka air bawah tanah di kawasan kars, sehingga masih mendukung fungsi umum hidrologi;
b. mempunyai jaringan lorong-lorong bawah tanah hasil bentukan sungai dan gua yang sudah kering, mempunyai speleotem yang sudah tidak aktif atau rusak, serta sebagai tempat tinggal tetap fauna yang semuanya memberi nilai dan manfaat ekonomi.
(3). Kawasan Kars Kelas III merupakan kawasan yang tidak memiliki kriteria sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 13
Kawasan Kars Kelas I merupakan kawasan lindung sumberdaya alam, yang penetapannya mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI, PEMANFAATAN DAN PERLINDUNGAN KAWASAN KARS
Pasal 14
(1). Di dalam Kawasan Kars Kelas I tidak boleh ada kegiatan pertambangan.
(2). Di dalam Kawasanl Kars Kelas I dapat dilakukan kegiatan lain, asal tidak berpotensi mengganggu proses karstifikasi, merusak bentukbentuk kars di bawah dan di atas permukaan, serta merusak fungsi kawasan kars.
(3). Di dalam Kawasan Kars Kelas II dapat dilakukan kegiatan usaha pertambangan dan kegiatan lain, yaitu seteleh kegiatan tersebut dilengkapi dengan studi lingkungan (Amdal atau UKL dan UPL) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4). Di dalam Kawasan Kars Kelas III dapat dilakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 15
Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangan masing-masing memberikan izin pemanfaatan kawasan kars.
Pasal 16
Kepada pelaku kegiatan usaha di dalam dan sekitar kawasan kars yang mengganggu proses karstifikasi yang sedang berlangsung serta merusak bentuk-bentuk morfologi, gua dengan speleotem di dalamnya dan fungsi kawasan kars diberikan sanksi sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
BAB VII, PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 17
Direktur Jenderal merakukan pembinaan pengelolaan kawasan kars yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan, pelatihan, arahan dan sosialisasi.
Pasal 18
Pengawasan pengelolaan kawasan kars meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan izin yang telah diberikan, dilakukan oleh :
a. Gubernur, untuk kawasan kars yang sebarannya meliputi dua atau lebih wilayah kabupaten atau kota;
b. Bupati atau Walikota, untuk kawasan kars yang sebarannya terdapat di dalam satu wilayah kabupaten atau kota yang bersangkutan.
Pasal 19
Salinan hasil kegiatan pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan Pasal 18 wajib disampaikan kepada Menteri setiap akhir tahun.
BAB VIII, BIAYA
Pasal 20
Semua biaya yang diperlukan untuk kegiatan inventarisasi, penyelidikan, pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, 7, 17 dan 18 dibebankan kepada anggaran Instansi/Lembaga yang terkait sesuai dengan kewenangan masingmasing.
BAB IX, KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1). Semua kegiatan usaha yang berada di kawasan kars dan sudah mendapat izin sebelum daerah tersebut ditetapkan sebagai kawasan kars tetap berlaku sampai berakhirnya perizinan.
(2). Semua kegiatan usaha yang berada di kawasan kars kelas I dan sudah mendapat izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perizinannya wajib ditinjau kembali sesuai dengan Keputusan Menteri ini.
(3). Permohonan izin kegiatan usaha yang berada di kawasan kars yang telah diterima sebelum ditetapkan Keputusan Menteri ini, diproses sesuai dengan Keputusan Menteri ini.
BAB X, KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
(1). Dengan berlakunya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi nomor 1518 K/20/MPE/1999 tanggal 29 September 1999 dinyatakan tidak berlaku.
(2). Ketentuan pelaksanaan Keputusan Menteri ini ditetapkan lebih lanjut oleh Direktur Jenderal.
Pasal 23
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 3 November 2000
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral,
Purnomo Yusgiantoro
Minggu, 25 April 2010
Sabtu, 10 April 2010
"WAJAH BURAM GUA WISATA DI KALSEL"
Kalimantan Selatan memiliki berbagai objek wisata alam yang bila dikembangkan dan dikelola secara profesional tentunya dapat diandalkan. Salah satu objek wisata alam yang selama ini dikembangan dan dikelola oleh pihak instansi terkait adalah objek wisata gua.
Sudah lama gua-gua alam yang terdapat di Kalimantan Selatan menjadi objek wisata gua untuk umum yang dikembangkan dan dikelola oleh pihak intansi terkait, namun sangat disayangkan pengembangan dan pengelolaannya tidak sesuai standar internasional dalam bidang manajemen gua wisata dan tanpa didahului oleh amdal yang dipersyaratkan serta tanpa melibatkan para ahli terkait seperti ahli karstospeleologi, geologi, arkelogi, paleontologi, tanah, biologi endokarst, vegetasi, ekonomi pariwisata, konservasi kawasan karst, arsitek, dan sebagainya. Pengembangan dan pengelolaan objek wisata gua selama ini terkesan apa adanya dan dilandasi pemikiran jangka pendek.
Pihak instansi terkait, begitu menemukan gua yang indah langsung menetapkan gua tersebut menjadi gua wisata. Padahal belum tentu gua tersebut layak menjadi gua wisata, karena perlu ditinjau lebih jauh baik dari segi keselamatan pengunjung (antroposentrisme) maupun dari segi keselamatan gua itu sendiri (speleosentrisme), mungkin saja gua tersebut memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan menjadi gua wisata (nilai sejarah, nilai arkeologi, nilai ilmiah, konservasi, dsbnya), atau gua tersebut sangat berbahaya bila dikunjungi, seperti banyak binatang berbisa, bahaya banjir, terdapat sumuran (vertikal) yang dalam, bahaya gas racun, hunian kelelawar dan walet, dsbnya. Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan oleh instansi terkait, lihat saja beberapa gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata yang ada di daerah kita semuanya tanpa ada mengidentifikasikan aneka nilai yang terkandung di dalam gua tersebut dan tanpa ada pemikiran yang berdasarkan speleosentrisme dan antropesentrisme.
Gua-gua yang ada di kawasan karts Batu Hapu (Kab. Tapin) yang sejak lama telah dibuka untuk umum dan pada tahun 2005 telah dibenahi dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 192.484.000,- namun sekarang ini sudah mulai mengalami penurunan kualitas akibat ulah pengunjung yang berlebihan, anak-anak tangga yang dibuat kurang memenuhi standart dan kurang terpelihara akibatnya banyak ditumbuhi lumut sehingga bila tidak hati-hati akan tergelincir. Pada waktu-waktu tertentu (malam tahun baru) di halaman mulut gua sering dijadikan sebagai tempat ajang hiburan (musik) tentunya hal ini sangat mengganggu ketenangan satwa penghuni gua, selain itu juga akan berdampak pada semakin kotornya lingkungan gua tersebut akibat sampah maupun grafiti, dan sudah pasti lorong-lorong gua yang remang-remang dan gelap dijadikan ajang perbuatan yang tidak semestinya dilakukan ditempat itu. Hal ini dikarenakan pihak instansi terkait tidak pernah mengawasi keadaan kawasan gua tersebut.
Gua Marmer (Kab. Tanah Laut), salah satu objek wisata gua yang juga sudah lama menjadi objek wisata yang sekarang menunggu kehancurannya saja disebabkan semakin maraknya aktivitas pertambangan batu marmer dan biji besi di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan pihak instansi terkait kurang memperhatikan pemanfaatan gua tersebut.
Gua Berangin (Kab. HSS) salah satu gua yang sejak lama ditetapkan sebagai objek wisata gua dan dibuka untuk umum oleh pihak instansi setempat, padahal bila ditinjau dari segi keindahannya gua tersebut kurang memiliki keindahan alam bawah tanah bahkan cukup mengadung resiko yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan lorong di gua tersebut akan banjir yang disebabkan aliran sungai di depan mulut gua (Allogenic), ditambah lagi dengan adanya aktivitas masyarakat setempat yang menggali (mengeruk) batu sungai di depan mulut gua yang menyebabkan debit air akan bertambah sehingga tidak menutup kemungkinan dinding-dinding gua akan terkikis dan akhirnya hancur.
Contoh lainnya adalah Gua Kering dan Gua Air dua diantara gua yang ada di kawasan karst Telungin yang dikenal dengan Gua Beramban (Kab. Tapin). Gua-gua yang ada di sana juga sudah lama dijadikan sebagai gua wisata, padahal bila ditinjau dari segi antroposentrisme dan speleosentrisme gua-gua tersebut kurang cocok dijadikan gua wisata untuk umum karena jalan untuk menuju ke lokasi gua-gua tersebut sangat terjal dan licin serta populasi kelelawar yang ada di lorong-lorong gua cukup banyak, apalagi Gua Air sangat tidak pantas dibuka untuk umum karena lorong-lorong gua sering banjir bila musim penghujan. Hal ini sangat berbahaya dan mengandung resiko yang sangat tinggi (apakah instansi terkait siap bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan di dalam gua ini ??). Seharusnya pihak instansi terkait menutup gua tersebut untuk kunjungan umum atau dipasang papan pengumuman di depan mulut gua yang menjelaskan keadaan lorong gua bila musim penghujan.
Gua Batu yang ada dikawasan karts Gunung Batu (Kab. Balangan) sudah cukup lama dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Namun sangat disayangkan pemanfaatan gua ini kurang didukung dengan cara pengembangan dan pengelolaannya, padahal pemda setempat telah menghabiskan dana kurang lebih sebesar Rp. 300 juta untuk pengembangan dan pengelolaan gua beserta kawasan tersebut. Namun berdasarkan hasil di lapangan objek wisata Gua Batu beserta kawasannya, pengembangan dan pengelolaannya sangatlah memprihatinkan sekali.
Pengembangan dan pengelolaan Gua Batu tersebut tampaknya kurang memperhatikan standarisasi dalam manajemen gua wisata sehingga tidak memperhatikan kelestarian lingkungan gua dan keselamatan pengunjung gua. Hal ini dapat dilihat seperti bangunan-bangunan untuk wc umum, pendopo, kursi untuk istirahat, tempat pos jaga dan sebagainya terlihat sangat tidak terawat. Rumput-rumput liar dan sampah dibiarkan berserakan. Coretan-coretan tangan para vandalis yang tidak ada artinya juga sangat banyak ditemui di setiap lorong-lorong gua dan ornamen gua, bahkan ada sebagian ornamen gua yang sengaja dipatahkan. Sampah-sampah yang sulit terurai cukup banyak ditemui di lantai gua dan hal ini akan mengganggu jutaan micro organisme yang ada pada sedimen gua tersebut.
Uraian di atas hanyalah sebagian dari gua-gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata untuk umum, sebenarnya masih banyak lagi gua-gua di daerah kita yang telah ditetapkan menjadi gua wisata, dan berdasarkan hasil eksplorasi di lapangan membuktikan bahwa selama ini pihak instansi terkait kurang memperhatikan tentang pemanfaatan, pemeliharaan dan pengelolaan gua alam untuk dijadikan objek wisata gua sehingga kelestarian lingkungan gua dan keselamatan pengunjung juga kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat seperti tidak ada melakukan identifikasi nilai-nilai yang terkadung dalam gua alam tersebut sebelum dijadikan gua wisata, tidak disediakannya pemandu gua yang profesional (Cave Guide), adanya aktivitas pertambangan batu bara, biji besi, batu gunung, maupun batu marmer yang sangat dekat dengan lokasi gua. Jalan untuk menuju lokasi gua sangat terjal dan curam yang tentunya berbahaya bagi pengunjung, meskipun telah dibuatkan anak-anak tangga namun anak-anak tangga tersebut masih kurang standart dan kurang terpelihara. Selain itu keadaan gua penuh dengan coretan-coretan di dinding gua yang sangat merusak keindahan ornamen gua (speleotem), bahkan ada ornamen yang sengaja dipatahkan oleh para vandalis. Lorong-lorong gua yang penuh dengan kelelawar atau burung walet tidak ditutup dengan pagar khusus sehingga hewan terbang tersebut terganggu oleh pengunjung, demikian juga dengan gua yang memiliki lorong berair seharusnya tidak dibuka untuk umum karena sangat berbahaya bila dikunjungi. Tidak ada menentukan perhitungan daya dukung dinamis berapa jumlah pengunjung optimal yang dapat memasuki interior gua secara bersama untuk menikmatinya dalam kunjungan waktu tertentu, tidak ada menentukan tapak lintas sirkulasi pengunjung, tidak ada menentukan periodisasi kunjungan, maupun menentukan zonasi atau pemintakatan.
Masih banyak aspek-aspek yang wajib diperhatikan dalam pengelolaan gua alam untuk dijadikan objek wisata gua, untuk itulah alangkah bijaksananya bila objek wisata gua yang ada di daerah kita ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli terkait.
* Hariez Om'Cing (Pemerhati Kawasan Karst dan Gua)
Sudah lama gua-gua alam yang terdapat di Kalimantan Selatan menjadi objek wisata gua untuk umum yang dikembangkan dan dikelola oleh pihak intansi terkait, namun sangat disayangkan pengembangan dan pengelolaannya tidak sesuai standar internasional dalam bidang manajemen gua wisata dan tanpa didahului oleh amdal yang dipersyaratkan serta tanpa melibatkan para ahli terkait seperti ahli karstospeleologi, geologi, arkelogi, paleontologi, tanah, biologi endokarst, vegetasi, ekonomi pariwisata, konservasi kawasan karst, arsitek, dan sebagainya. Pengembangan dan pengelolaan objek wisata gua selama ini terkesan apa adanya dan dilandasi pemikiran jangka pendek.
Pihak instansi terkait, begitu menemukan gua yang indah langsung menetapkan gua tersebut menjadi gua wisata. Padahal belum tentu gua tersebut layak menjadi gua wisata, karena perlu ditinjau lebih jauh baik dari segi keselamatan pengunjung (antroposentrisme) maupun dari segi keselamatan gua itu sendiri (speleosentrisme), mungkin saja gua tersebut memiliki nilai yang lebih penting dibandingkan menjadi gua wisata (nilai sejarah, nilai arkeologi, nilai ilmiah, konservasi, dsbnya), atau gua tersebut sangat berbahaya bila dikunjungi, seperti banyak binatang berbisa, bahaya banjir, terdapat sumuran (vertikal) yang dalam, bahaya gas racun, hunian kelelawar dan walet, dsbnya. Selama ini hal tersebut kurang diperhatikan oleh instansi terkait, lihat saja beberapa gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata yang ada di daerah kita semuanya tanpa ada mengidentifikasikan aneka nilai yang terkandung di dalam gua tersebut dan tanpa ada pemikiran yang berdasarkan speleosentrisme dan antropesentrisme.
Gua-gua yang ada di kawasan karts Batu Hapu (Kab. Tapin) yang sejak lama telah dibuka untuk umum dan pada tahun 2005 telah dibenahi dengan menghabiskan dana sebesar Rp. 192.484.000,- namun sekarang ini sudah mulai mengalami penurunan kualitas akibat ulah pengunjung yang berlebihan, anak-anak tangga yang dibuat kurang memenuhi standart dan kurang terpelihara akibatnya banyak ditumbuhi lumut sehingga bila tidak hati-hati akan tergelincir. Pada waktu-waktu tertentu (malam tahun baru) di halaman mulut gua sering dijadikan sebagai tempat ajang hiburan (musik) tentunya hal ini sangat mengganggu ketenangan satwa penghuni gua, selain itu juga akan berdampak pada semakin kotornya lingkungan gua tersebut akibat sampah maupun grafiti, dan sudah pasti lorong-lorong gua yang remang-remang dan gelap dijadikan ajang perbuatan yang tidak semestinya dilakukan ditempat itu. Hal ini dikarenakan pihak instansi terkait tidak pernah mengawasi keadaan kawasan gua tersebut.
Gua Marmer (Kab. Tanah Laut), salah satu objek wisata gua yang juga sudah lama menjadi objek wisata yang sekarang menunggu kehancurannya saja disebabkan semakin maraknya aktivitas pertambangan batu marmer dan biji besi di kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan pihak instansi terkait kurang memperhatikan pemanfaatan gua tersebut.
Gua Berangin (Kab. HSS) salah satu gua yang sejak lama ditetapkan sebagai objek wisata gua dan dibuka untuk umum oleh pihak instansi setempat, padahal bila ditinjau dari segi keindahannya gua tersebut kurang memiliki keindahan alam bawah tanah bahkan cukup mengadung resiko yang tinggi karena tidak menutup kemungkinan lorong di gua tersebut akan banjir yang disebabkan aliran sungai di depan mulut gua (Allogenic), ditambah lagi dengan adanya aktivitas masyarakat setempat yang menggali (mengeruk) batu sungai di depan mulut gua yang menyebabkan debit air akan bertambah sehingga tidak menutup kemungkinan dinding-dinding gua akan terkikis dan akhirnya hancur.
Contoh lainnya adalah Gua Kering dan Gua Air dua diantara gua yang ada di kawasan karst Telungin yang dikenal dengan Gua Beramban (Kab. Tapin). Gua-gua yang ada di sana juga sudah lama dijadikan sebagai gua wisata, padahal bila ditinjau dari segi antroposentrisme dan speleosentrisme gua-gua tersebut kurang cocok dijadikan gua wisata untuk umum karena jalan untuk menuju ke lokasi gua-gua tersebut sangat terjal dan licin serta populasi kelelawar yang ada di lorong-lorong gua cukup banyak, apalagi Gua Air sangat tidak pantas dibuka untuk umum karena lorong-lorong gua sering banjir bila musim penghujan. Hal ini sangat berbahaya dan mengandung resiko yang sangat tinggi (apakah instansi terkait siap bertanggung jawab bila terjadi kecelakaan di dalam gua ini ??). Seharusnya pihak instansi terkait menutup gua tersebut untuk kunjungan umum atau dipasang papan pengumuman di depan mulut gua yang menjelaskan keadaan lorong gua bila musim penghujan.
Gua Batu yang ada dikawasan karts Gunung Batu (Kab. Balangan) sudah cukup lama dimanfaatkan sebagai obyek wisata. Namun sangat disayangkan pemanfaatan gua ini kurang didukung dengan cara pengembangan dan pengelolaannya, padahal pemda setempat telah menghabiskan dana kurang lebih sebesar Rp. 300 juta untuk pengembangan dan pengelolaan gua beserta kawasan tersebut. Namun berdasarkan hasil di lapangan objek wisata Gua Batu beserta kawasannya, pengembangan dan pengelolaannya sangatlah memprihatinkan sekali.
Pengembangan dan pengelolaan Gua Batu tersebut tampaknya kurang memperhatikan standarisasi dalam manajemen gua wisata sehingga tidak memperhatikan kelestarian lingkungan gua dan keselamatan pengunjung gua. Hal ini dapat dilihat seperti bangunan-bangunan untuk wc umum, pendopo, kursi untuk istirahat, tempat pos jaga dan sebagainya terlihat sangat tidak terawat. Rumput-rumput liar dan sampah dibiarkan berserakan. Coretan-coretan tangan para vandalis yang tidak ada artinya juga sangat banyak ditemui di setiap lorong-lorong gua dan ornamen gua, bahkan ada sebagian ornamen gua yang sengaja dipatahkan. Sampah-sampah yang sulit terurai cukup banyak ditemui di lantai gua dan hal ini akan mengganggu jutaan micro organisme yang ada pada sedimen gua tersebut.
Uraian di atas hanyalah sebagian dari gua-gua yang telah ditetapkan menjadi gua wisata untuk umum, sebenarnya masih banyak lagi gua-gua di daerah kita yang telah ditetapkan menjadi gua wisata, dan berdasarkan hasil eksplorasi di lapangan membuktikan bahwa selama ini pihak instansi terkait kurang memperhatikan tentang pemanfaatan, pemeliharaan dan pengelolaan gua alam untuk dijadikan objek wisata gua sehingga kelestarian lingkungan gua dan keselamatan pengunjung juga kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat seperti tidak ada melakukan identifikasi nilai-nilai yang terkadung dalam gua alam tersebut sebelum dijadikan gua wisata, tidak disediakannya pemandu gua yang profesional (Cave Guide), adanya aktivitas pertambangan batu bara, biji besi, batu gunung, maupun batu marmer yang sangat dekat dengan lokasi gua. Jalan untuk menuju lokasi gua sangat terjal dan curam yang tentunya berbahaya bagi pengunjung, meskipun telah dibuatkan anak-anak tangga namun anak-anak tangga tersebut masih kurang standart dan kurang terpelihara. Selain itu keadaan gua penuh dengan coretan-coretan di dinding gua yang sangat merusak keindahan ornamen gua (speleotem), bahkan ada ornamen yang sengaja dipatahkan oleh para vandalis. Lorong-lorong gua yang penuh dengan kelelawar atau burung walet tidak ditutup dengan pagar khusus sehingga hewan terbang tersebut terganggu oleh pengunjung, demikian juga dengan gua yang memiliki lorong berair seharusnya tidak dibuka untuk umum karena sangat berbahaya bila dikunjungi. Tidak ada menentukan perhitungan daya dukung dinamis berapa jumlah pengunjung optimal yang dapat memasuki interior gua secara bersama untuk menikmatinya dalam kunjungan waktu tertentu, tidak ada menentukan tapak lintas sirkulasi pengunjung, tidak ada menentukan periodisasi kunjungan, maupun menentukan zonasi atau pemintakatan.
Masih banyak aspek-aspek yang wajib diperhatikan dalam pengelolaan gua alam untuk dijadikan objek wisata gua, untuk itulah alangkah bijaksananya bila objek wisata gua yang ada di daerah kita ditinjau ulang dengan melibatkan para ahli terkait.
* Hariez Om'Cing (Pemerhati Kawasan Karst dan Gua)
" TERBENTUKNYA GUA DAN SISTEM GUA "
Kalau kita tinjau bagaimana gua itu terbentuk, gua adalah lubang alamiah di tanah atau lorong di bawah tanah yang dapat dimasuki orang (Definisi dari International Union Of Speleologi di Wina – Austria).
Proses terjadinya gua membutuhkan waktu ribuan tahun bahkan jutaan tahun lamanya, dimulai ketika air dipermukaan menetes ke bawah melalui celah-celah kecil di batu. Air yang mengandung gas yang disebut karbon dioksida yang terserap dari udara, dan ini membentuk asam lunak menggerogoti batu gamping. Pada saat air mengalir terus ke bawah tanah, air itupun terus menggerogoti sebagian batuan sehingga terbentuklah lubang/gua.
Selama ribuan bahkan jutaan tahun, akibat dari air bisa menciptakan seluruh sistem gua yang berhubungan satu sama lain dengan ajringan terowongan dan lorong. Jauh di bawah tanah terdapat bagian yang disebut sebagai air bawah tanah. Pada bagian ini tidak ada lagi batuan gamping melainkan jenis batuan lain yang disebut batuan telap air dan batuan ini tidak bisa menyerap lebih banyak air lagi. Jadi air dari permukaan mulai mengalir disepanjang air bawah tanah yang membentuk sungai kecil di bawah tanah. Permukaan air bawah tanah biasanya berubah dalam periode ratusan, ribuan bahkan jutaan tahun. Setiap kali perubahan itu terjadi, sungai itu harus membuka jalan baru dan udara mengisi lubang dan bilik terdahulu, dengan demikian maka terbentuklah sistem gua.
Ternyata keindahan panorama bukan hanya milik dan didominasi di permukaan bumi saja. Perut bumipun menyimpan misteri dan pesona keindahan yang fantastis. Berbeda dengan keindahan panorama di permukaan bumi yang senantiasa memperlihatkan dengan nyata objek yang menjadi sasaran keindahan. Jauh di dalam perut bumi kita selalu menghadapi ketidakpastian mengenai apa yang bakal kita jumpai. Pemandangan bawah tanah yang ganjil ini sering kali luar biasa indahnya dan mengingatkan kita pada dua “seniman alam” yaitu AIR dan WAKTU.
Formasi batuan yang menakjubkan tampak dalam tiap belokan. Seperti air terjun bawah tanah, danau bawah tanah yang tenang, dsbnya. Tidak heran kalau beberapa sistem gua di dunia sekarang menjadi daya tarik wisata yang populer.
Terbentunya formasi batuan ini diakibatkan oleh air pada saat merembes melalui celah-celah di batu gamping. Air yang melarutkan mineral yang disebut Kalsit di batuan. Setelah menggerogoti batu gamping dan melubangi gua, air tersebut terus menetes ke dalam dinding gua tapi sebagian lagi menguap dan lapisan tipis Kalsit tadi tertinggal di batuan dan selama bertahun-tahun lapisan Kalsit tersebut menumpuk dibeberapa tempat sehingga Kalsit ini membentuk lapisan halus di dinding gua. Sedangkan Kalsit yang ada di tempat lain menjadi formasi batu yang berbentuk unik yang disebut Speleotem (ornamen gua). Speleotem yang terkenal adalah Stalaktit dan Stalagmit.
Gua yang dijumpai pada umumnya merupakan gua batu gamping (90% dari semua gua di dunia), tapi tidak semua gua berasal dari batuan gamping yang dilubangi oleh air. Beberapa gua yang bukan berasal dari batuan gamping, diantaranya seperti :
a. Gua Lava. Gua ini terbentuk dalam aliran lava basalt jenis pahoehoe atau terbentuk oleh lava merah membara yang mengalir dari gunung api. Saat lava mengalir menuruni lereng gunung dan permukaan luarnya mendingin dan mengeras sehingga menjadi batu. Namun di bawahnya lava tersebut tetap mencari dan terus mengalir dan akhirnya habis dan meninggalkan “tabung” kosong. Gua seperti ini sering kali memiliki sisi yang sangat licin dan bentuknya pun beraturan. Gua ini biasanya dekat dengan permukaan dan mungkin memiliki banyak lubang di atap tipisnya.
b. Gua Es. Gua ini biasanya terbentuk di dalam gletser. Saat gletser mendekati daerah yang lebih hangat, es mulai mencair. Sungai air yang terbentuk di bawah es dan ini bergabung dengan udara hangat dan melubangi dinding-dinding es.
c. Gua Littoral. Biasanya gua jenis ini terdapat di tepi danau atau tepi pantai laut yang dangkal. Gua ini terjadi akibat dari kikisan air atau hantaman ombak dan angin yang mengkikis daerah batuan yang rapuh.
d. Gua Bawah Air. Terbentuknya gua ini bukan oleh lautan (air), akan tetapi gua ini merupakan jenis gua batu gamping (karst) yang telah tenggelam di bawah samudera.
e. Gua Garam. Terbentuk pada batuan jenis batuan halit (NaCL dan KCL)
f. Gua Gipsum. Terbentuk dari jenis batuan gipsum
g. Gua Rekahan. Terbentuk dari jenis batuan granit
h. Gua Pasir. Terbentuk di lapisan batuan pasir.
*KEPUSTAKAAN *
- Irawan, Haris, 1999. Gua Cagar Alam Yang Perlu Dilindungi. Banjarmasin Post, 7 Februari 1999.
- R.K.T. Ko, 1998. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Temu Wicara dan Kenal Medan ke-X Mahasiswa Pecinta Alam Se-Indonesia di Yogyakarta, 7 – 15 Nopember 1998.
"SPELEOLOGI DAN SEJARAH PERKEMBANGANNYA"
Speleologi adalah suatu ilmu yang sifatnya holistik/menyeluruh dan saling terkait antara geologi, geomorfologi, hidrologi, biologi, ekologi, sedimentologi, palinologi, klimatologi, arkeologi, paleontologi, sosioekonomi dan sosiobudaya, pariwisata dan konservasi alam.
Speleologi berasal dari kata Yunani, yaitu SPELAION yang artinya GUA, dan LOGOS yang artinya ILMU. Jadi secara harpiah speleologi dapat diartikan suatu ilmu yang mempelajari gua. Namun yang dipelajari pada Speleologi mencakup semua aspek yang mengitari gua beserta lingkungannya. Sehingga Speleologi dapat disimpulkan suatu ilmu yang mempelajari gua dan lingkungannya.
Ruang lingkup yang dipelajari pada Speleologi tersebut diantaranya meneliti aneka aspek yang terkait dalam lingkungan gua, seperti :
- Biospeleologi : kehidupan binatang (biota) dalam gua.
- Ekosistem unik dari biota penghuni gua yang terkait dengan biota di luar gua.
- Spelogenesis : cara bagaimana gua terbentuk.
- Speleokhronologi : menentukan umur gua.
- Hidrologi gua : mengidentifikasi air dalam gua (bawah tanah) yang bermanfaat sebagai air cadangan.
- Wisata gua
- Arkeologi gua
- Paleontologi gua
- Palinologi sedimen gua : penelitian spora dan serbuk bunga yang tertinggal dalam sedimen dalam gua.
- Mikroklimatologi gua
- Konservasi gua dan lingkungannya
- Speleotrapi : teknik memanfaatkan lingkungan gua untuk pengobatan penyakit tertentu.
- Aspek sosiobudaya gua : pertapaan, peziarahan, nilai sejarah, dan mistik.
- Sosioekonomi gua dan lingkungannya : penambangan fosfat, sarang burung walet, wisata gua komersial.
- Aspek pendidikan : pencagaran.
Kalau kita mempelajari sejarah Islam maka Nabi Muhammad SAW merupakan manusia pertama yang memanfaatkan gua sebagai tempat persembunyian dan gua tersebut bernama Gua Hira. Namun terlepas dari itu untuk penelusuran gua yang dilakukan secara khusus tidak ada catatan resmi kapan orang melakukan penelusuran gua dalam arti mempelajari tentang gua dan lingkungannya. Akan tetapi berdasarkan peninggalan-peninggalan yang berupa sisa-sisa makanan, tulang-belulang, sisa pembakaran, serta lukisan yang dijumpai di Benua Eropa, Afrika dan Amerika dapat disimpulkan bahwa manusia sudah mengenal gua pada puluhan ribu tahun yang lalu.
Menurut catatan yang ada, penelusuran gua dimulai oleh John Beaumont (1674) seorang ahli bedah dari Somerset-Inggris yang juga dikenal sebagai ahli pertambangan dan geologi amatir. Dia tercatat sebagai orang pertama yangmenuruni sumuran (potholing) di dalam gua dan menemukan ruangan dengan panjang 80 meter,lebar 3 meter serta ketinggian plafon 10 meter hanya dengan menggunakan penerangan lilin. Menurut catatan, Beaumont merangkak sejauh 100 meter dan menemukan jurang (internal pitch). Ia mengikatkan tambang pada tubuhnya dan minta diulur sedalam 25 meter dan mengukur ruangan dalam gua tersebut. Ia melaporkan penemuan ini pada Royal Society, sebuah Lembaga Pengetahuan Inggris.
Baron Johan Vasavor dari Slovenia merupakan orang yang paling berjasa dalam mendiskripsikan gua-gua antara tahun 1670 – 1680. Dia mengunjungi 70 buah gua dan membuat peta sketsa yang melahirkan tulisan pada empat buah buku setebal 2800 halaman.
Joseph Nagel, pada tahun 1747 mendapat tugas dari istana untuk memetakan sistem perguaan di Kerajaan Austro – Hongaria. Sedangkan wisata gua yang pertama tercatat pada tahun 1818, ketika Kaisar Mabsbrug Francis I dari Austria berkenan untuk meninjau Gua Adelsberg (kini namanya diganti menjadi Gua Postojna) di Yugoslavia. Kemudian wiraswasta Josip Jersinovic mengembangkannya sebagai tempat wisata dengan memudahkan tempat itu dapat dicapai. Diberi penerangan dan pengunjung dikenakan biaya masuk. New York Times pada tahun 1881 mengkritik bahwa keindahan gua telah dirusak hanya untuk mencari keuntungan.
Stephen Bishop pemandu wisata yang paling berjasa, ia anak muda yang dipekerjakan oleh Franklin Gorin seorang pengacara yang membeli tanah di sekitar gua Mammoth – Kentucky (AS) pada tahun 1838, dan kini Gua Mammoth diterima UNICEF sebagai warisan dunia.
Secara resmi Speleologi lahir pada abad 19 berkat ketekunan EDOUARD ALFRED MARTEL. Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia bersama ayahnya yang seorang ahli Paleontologi, kemudian juga mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1818 ia mulai mengenalkan penelusuran gua dengan peralatan. Ia juga membuat pakaian berkantung banyak yang sekarang disebut coverall (wearpack). Sistem penyelamatan yang ia gunakan pada saat itu dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau menuruni dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakan kakinya pada kedalaman 233 meter di sumuran Ranabel dekat Marsille – Prancis, dan selama 45 menit tergantung di kedalaman 90 meter. Ia mengukur ketinggian atap dengan balon kertas yang digantungi spon yang dibasahi alkohol. Begitu spon dinyalakan balon akan naik ke atas mencapai atap gua.
Hingga sekarang ia diakui sebagai “Bapak Speleologi”. Setelah keberhasilan Martel, maka bermunculanlah para penelusur gua dan ahli speleologi terkemuka yang mengikuti jejak Martel, seperti Pournier, Jannel, Biret, dllnya yang kesemuanya berasal dari Prancis dan hingga sekarang Prancis masih dianggap sebagai “kiblat” dari penelusur gua.
Baru setelah Perang Dunia ke I, Robert De Jolly dan Nobert Casteret mampu mengimbangi Martel. De Jolly mampu menciptakan peralatan gua yang terbuat dari aluminium alloy. Nobert Casteret orang pertama yang melakukan Cave Diving pada tahun 1922 dengan menyelami Gua Montespan yang di dalam gua tersebut ditemukan patung-patung dan lukisan Bison serta binatang lain dari tanah liat yang menurut para ahli itu sebagai acara ritual sebelum berburu ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Di Indonesia Speleologi relatif tergolong suatu ilmu yang baru dan masih sedikit ahli-ahli Speleologi maupun pendidikan formal tentang Speleologi. Speleologi yang baru berkembang di Indonesia berkisar pada tahun 1980, dengan berdirinya sebuah club yang bernama SPECAVINA yang didirikan oleh NORMAN EDWIN (alm) dan RKT. Ko. Namun karena adanya perbedaan prinsip, akhirnya mereka terpecah dan mendirikan perkumpulan masing-maisng, yaitu :
Norman Edwin (alm) mendirikan club yang bernama GARBA BUMI, sedangkan RKT.Ko mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) pada tahun 1984 dan menjadi ketuanya.
Beberapa tahun terakhir ini perkembangan speleologi di Indonesia sudah menampakan hasil yang menggembirakan. Hal ini terbukti sudah mendapat pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa Speleologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang turut berperan dalam lingkungan hidup maupun konservasi, dan mulai banyaknya bermunculan ilmuwan maupun pemerhati, serta lembaga/perhimpunan/kelompok penggiat alam bebas yang menjadikan gua beserta lingkungannya sebagai objek kegiatan dan penelitian mereka untuk menggali misteri yang tersembunyi pada gua tersebut.
*KEPUSTAKAAN *
- Hari Aristiyanto, M, 1996. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Gladian Nasional Pecinta Alam ke-XI di Yogyakarta.
- R.K.T. Ko, 1998. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Temu Wicara dan Kenal Medan ke-X Mahasiswa Pecinta Alam Se-Indonesia di Yogyakarta, 7 – 15 Nopember 1998.
Speleologi berasal dari kata Yunani, yaitu SPELAION yang artinya GUA, dan LOGOS yang artinya ILMU. Jadi secara harpiah speleologi dapat diartikan suatu ilmu yang mempelajari gua. Namun yang dipelajari pada Speleologi mencakup semua aspek yang mengitari gua beserta lingkungannya. Sehingga Speleologi dapat disimpulkan suatu ilmu yang mempelajari gua dan lingkungannya.
Ruang lingkup yang dipelajari pada Speleologi tersebut diantaranya meneliti aneka aspek yang terkait dalam lingkungan gua, seperti :
- Biospeleologi : kehidupan binatang (biota) dalam gua.
- Ekosistem unik dari biota penghuni gua yang terkait dengan biota di luar gua.
- Spelogenesis : cara bagaimana gua terbentuk.
- Speleokhronologi : menentukan umur gua.
- Hidrologi gua : mengidentifikasi air dalam gua (bawah tanah) yang bermanfaat sebagai air cadangan.
- Wisata gua
- Arkeologi gua
- Paleontologi gua
- Palinologi sedimen gua : penelitian spora dan serbuk bunga yang tertinggal dalam sedimen dalam gua.
- Mikroklimatologi gua
- Konservasi gua dan lingkungannya
- Speleotrapi : teknik memanfaatkan lingkungan gua untuk pengobatan penyakit tertentu.
- Aspek sosiobudaya gua : pertapaan, peziarahan, nilai sejarah, dan mistik.
- Sosioekonomi gua dan lingkungannya : penambangan fosfat, sarang burung walet, wisata gua komersial.
- Aspek pendidikan : pencagaran.
Kalau kita mempelajari sejarah Islam maka Nabi Muhammad SAW merupakan manusia pertama yang memanfaatkan gua sebagai tempat persembunyian dan gua tersebut bernama Gua Hira. Namun terlepas dari itu untuk penelusuran gua yang dilakukan secara khusus tidak ada catatan resmi kapan orang melakukan penelusuran gua dalam arti mempelajari tentang gua dan lingkungannya. Akan tetapi berdasarkan peninggalan-peninggalan yang berupa sisa-sisa makanan, tulang-belulang, sisa pembakaran, serta lukisan yang dijumpai di Benua Eropa, Afrika dan Amerika dapat disimpulkan bahwa manusia sudah mengenal gua pada puluhan ribu tahun yang lalu.
Menurut catatan yang ada, penelusuran gua dimulai oleh John Beaumont (1674) seorang ahli bedah dari Somerset-Inggris yang juga dikenal sebagai ahli pertambangan dan geologi amatir. Dia tercatat sebagai orang pertama yangmenuruni sumuran (potholing) di dalam gua dan menemukan ruangan dengan panjang 80 meter,lebar 3 meter serta ketinggian plafon 10 meter hanya dengan menggunakan penerangan lilin. Menurut catatan, Beaumont merangkak sejauh 100 meter dan menemukan jurang (internal pitch). Ia mengikatkan tambang pada tubuhnya dan minta diulur sedalam 25 meter dan mengukur ruangan dalam gua tersebut. Ia melaporkan penemuan ini pada Royal Society, sebuah Lembaga Pengetahuan Inggris.
Baron Johan Vasavor dari Slovenia merupakan orang yang paling berjasa dalam mendiskripsikan gua-gua antara tahun 1670 – 1680. Dia mengunjungi 70 buah gua dan membuat peta sketsa yang melahirkan tulisan pada empat buah buku setebal 2800 halaman.
Joseph Nagel, pada tahun 1747 mendapat tugas dari istana untuk memetakan sistem perguaan di Kerajaan Austro – Hongaria. Sedangkan wisata gua yang pertama tercatat pada tahun 1818, ketika Kaisar Mabsbrug Francis I dari Austria berkenan untuk meninjau Gua Adelsberg (kini namanya diganti menjadi Gua Postojna) di Yugoslavia. Kemudian wiraswasta Josip Jersinovic mengembangkannya sebagai tempat wisata dengan memudahkan tempat itu dapat dicapai. Diberi penerangan dan pengunjung dikenakan biaya masuk. New York Times pada tahun 1881 mengkritik bahwa keindahan gua telah dirusak hanya untuk mencari keuntungan.
Stephen Bishop pemandu wisata yang paling berjasa, ia anak muda yang dipekerjakan oleh Franklin Gorin seorang pengacara yang membeli tanah di sekitar gua Mammoth – Kentucky (AS) pada tahun 1838, dan kini Gua Mammoth diterima UNICEF sebagai warisan dunia.
Secara resmi Speleologi lahir pada abad 19 berkat ketekunan EDOUARD ALFRED MARTEL. Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia bersama ayahnya yang seorang ahli Paleontologi, kemudian juga mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1818 ia mulai mengenalkan penelusuran gua dengan peralatan. Ia juga membuat pakaian berkantung banyak yang sekarang disebut coverall (wearpack). Sistem penyelamatan yang ia gunakan pada saat itu dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau menuruni dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakan kakinya pada kedalaman 233 meter di sumuran Ranabel dekat Marsille – Prancis, dan selama 45 menit tergantung di kedalaman 90 meter. Ia mengukur ketinggian atap dengan balon kertas yang digantungi spon yang dibasahi alkohol. Begitu spon dinyalakan balon akan naik ke atas mencapai atap gua.
Hingga sekarang ia diakui sebagai “Bapak Speleologi”. Setelah keberhasilan Martel, maka bermunculanlah para penelusur gua dan ahli speleologi terkemuka yang mengikuti jejak Martel, seperti Pournier, Jannel, Biret, dllnya yang kesemuanya berasal dari Prancis dan hingga sekarang Prancis masih dianggap sebagai “kiblat” dari penelusur gua.
Baru setelah Perang Dunia ke I, Robert De Jolly dan Nobert Casteret mampu mengimbangi Martel. De Jolly mampu menciptakan peralatan gua yang terbuat dari aluminium alloy. Nobert Casteret orang pertama yang melakukan Cave Diving pada tahun 1922 dengan menyelami Gua Montespan yang di dalam gua tersebut ditemukan patung-patung dan lukisan Bison serta binatang lain dari tanah liat yang menurut para ahli itu sebagai acara ritual sebelum berburu ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Di Indonesia Speleologi relatif tergolong suatu ilmu yang baru dan masih sedikit ahli-ahli Speleologi maupun pendidikan formal tentang Speleologi. Speleologi yang baru berkembang di Indonesia berkisar pada tahun 1980, dengan berdirinya sebuah club yang bernama SPECAVINA yang didirikan oleh NORMAN EDWIN (alm) dan RKT. Ko. Namun karena adanya perbedaan prinsip, akhirnya mereka terpecah dan mendirikan perkumpulan masing-maisng, yaitu :
Norman Edwin (alm) mendirikan club yang bernama GARBA BUMI, sedangkan RKT.Ko mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) pada tahun 1984 dan menjadi ketuanya.
Beberapa tahun terakhir ini perkembangan speleologi di Indonesia sudah menampakan hasil yang menggembirakan. Hal ini terbukti sudah mendapat pengakuan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa Speleologi merupakan suatu ilmu pengetahuan yang turut berperan dalam lingkungan hidup maupun konservasi, dan mulai banyaknya bermunculan ilmuwan maupun pemerhati, serta lembaga/perhimpunan/kelompok penggiat alam bebas yang menjadikan gua beserta lingkungannya sebagai objek kegiatan dan penelitian mereka untuk menggali misteri yang tersembunyi pada gua tersebut.
*KEPUSTAKAAN *
- Hari Aristiyanto, M, 1996. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Gladian Nasional Pecinta Alam ke-XI di Yogyakarta.
- R.K.T. Ko, 1998. Introduksi Speleologi. Makalah Pada Temu Wicara dan Kenal Medan ke-X Mahasiswa Pecinta Alam Se-Indonesia di Yogyakarta, 7 – 15 Nopember 1998.
Kamis, 25 Maret 2010
"VANDALISME GUA"
Membahas vandalisme gua ternyata tidak semudah yang dipikirkan, karena selain harus dipahami dulu apa yang dimaksud dengan istilah “vandalisme”, juga harus diusahakan memberi batasan-batasan siapa yang tergolong vandalis dan apa yang rusak. Vandalisme harus secara tegas dipisahkan dari pengertian “perisakan gua” yang lebih luas artinya.
Vandalisme gua adalah perusakan gua yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan manusia secara sengaja. Apakah kesengajaan ini berlandaskan tahu tidaknya para pelaku, perihal estetika, ekologi, biologi, geohindrologi, arkeologi, paleontologi, konservasi, bukan menjadi konsiderans dalam pembahasan ini. Kalau hal itu ikut dipertimbangkan, maka pembahasan menjadi rumit, karena nanti akan ada kategori “vandalisme sejati/mutlak”, “vandalisme relatif”, “vandalisme resmi”, “vandalisme terselubung”, dsbnya. Yang dibahas adalah setiap tindakan serta akibatnya dari usaha perusakan gua dan lingkungannya secara sengaja itu, disadari atau tidak efek negatifnya terhadap estetika, ekosistem, fisik dan biota gua, hal mana menyebabkan kemunduran secara makro dan mikro dari nilai gua sebagai sumber daya alam yang langka.
Pelaku vandalisme gua dengan demikian tidak terbatas pada penulusur gua musiman (penggiat alam bebas), tetapi termasuk pula penggali fosfat, pengunduh sarang burung walet, pemburu kelelawar, kontraktor pembangunan fisik, dan pengelola gua, bahkan juga ilmuwan yang kurang berhati-hati dalam usaha sampling dan kegiatan lain di dalam gua.
Di luar negeri secara tajam telah disorot bobot/derajat perusakan gua oleh para penelusur gua musiman dan para kontraktor obyek wisata gua dan pengelolanya. Dengan kesimpulan bahwa secara kualitatif kategori kedua ini menyebabkan kehancuran gua secara menyolok. Namun secara kuantitatif golongan pertama yang potensial bisa menimbulkan kerusakan gua secara merata. Apabila kontraktor dan pengelola gua sering mengakibatkan kerusakan intensif pada suatu atau beberapa gua yang secara salah ditangani oleh mereka, maka penelusur gua kategori “penggiat alam bebas” dapat menimbulkan perusakan pada banyak gua sekaligus.
Para kontraktor juga tidak memahami dan tidak qualified untuk mengerjakan analisis dampak lingkungan, kaidah estetika dan civil engineering di bawah tanah, sementara pengelola tidak memahami apa yang dinamakan daya dukung gua, pencapaian, pemintakan, nilai ilmiah dan estetika gua.
Bila kita hendak membicarakan cara-cara penanggulangannya, harus kita sadari bahwa setiap tindakan pencegahan maupun korektif harus berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah. Kiranya yang paling tepat adalah menerapkan undang-undang lingkungan hidup dan petunjuk pelaksanaannya dengan mengakui gua beserta seluruh isinya (mineral, biota, air) sebagai sumber daya alam langka yang seluruhnya perlu dilindungi.
Perusakan atau efek negatif yang disebabkan oleh ulah manusia, seyogyanya dikenakan hukuman atau denda. Di Amerika Serikat setiap usaha merusak formasi gua atau mengusik biota gua, diancam denda sampai US $ 500 perorang, menurut undang-undang beberapa negara bagian yang memiliki gua-gua sebagai sumber daya alam.
Menangani gua untuk dijadikan objek wisata alam sudah diakui sebagai pekerjaan yangrumit sekali dan perlu penanganan secara terpadu, multidipliner dan hati-hati. Untuk memeriksa apakah setiap tindakan itu tepat diadakan National Cave Management Symposium secara teratur setahun sekali di Amerika Serikat yang dihadiri oleh ahli-ahli speleologi, geologi, hidrologi, karstologi, arkeologi, paleontologi, turisme, kehutanan, pengelola gua, pengelola taman nasional, pendidikan pemandu wisata, ekonomi, hukum dan para pemilik (swasta) gua-gua komersil.
Setiap rencana melakukan intervensi fisik interior maupun eksterior gua akan didahului konsultasi luas secara horisontal maupun vertikal (bottom-up) oleh dan antara para pengelola dengan para ilmuwan agar jangan sampai tindakan yang diambil justru akan merusak gua. Setelitinya tindakan yang dilakukan pihak pengelola, masih saja bisa timbul efek-efek negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya, seperti kasus pengeringan Gua Waitomo di Selandia Baru dan Gua Carlsbad. Yang pertama karena dibuatkan jendela karst untuk memperbaiki sirkulasi udara, yang kedua oleh pemasangan lift ke interior gua dan pengaspalan tempat parkir tepat di atas gua.
Di Indonesia nyata-nyata para kontraktor dan pengelola tidak memahami seluk belum lingkungan bawah tanah. Namun berani sekali megutak-atik fisik gua, hanya berlandaskan motivasi keuntungan ekonomis jangka pendek semata-mata. Mereka tidak pernah berkonsultasi denga para ahli speleplogi, ekologi, biologi, arkeologi maupun ahli lainnya. Hanya sesekaili berkonsultasi dengan geologiwan yang kurang memahami speleologi. Apalagi ekosistem mikro gua dan nilai sedimentologinya. Pemikiran, apalagi tidak kurang rasional yang berakibat rusaknya gua ini bagaimanapun juga harus dikategorikan sebagai vandalisme gua.
Kiranya yang paling tepat adalah kesadaran bahwa setiap tindakan apapun jenisnya terhadap gua dan lingkungannya merupakan tindakan yang tidak atau sulit diperbaiki efeknya. Hal ini terutama berlaku bagi gua-gua karstik. Untuk itulah sebelum melakukan suatu tindakan fisik, wajiblah didahului konsultasi intensif dan analisis dampak lingkungan secara terpadu dan multidisipliner.
Sumber : R.K.T. Ko (Speleologiwan Indonesia)
Vandalisme gua adalah perusakan gua yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan manusia secara sengaja. Apakah kesengajaan ini berlandaskan tahu tidaknya para pelaku, perihal estetika, ekologi, biologi, geohindrologi, arkeologi, paleontologi, konservasi, bukan menjadi konsiderans dalam pembahasan ini. Kalau hal itu ikut dipertimbangkan, maka pembahasan menjadi rumit, karena nanti akan ada kategori “vandalisme sejati/mutlak”, “vandalisme relatif”, “vandalisme resmi”, “vandalisme terselubung”, dsbnya. Yang dibahas adalah setiap tindakan serta akibatnya dari usaha perusakan gua dan lingkungannya secara sengaja itu, disadari atau tidak efek negatifnya terhadap estetika, ekosistem, fisik dan biota gua, hal mana menyebabkan kemunduran secara makro dan mikro dari nilai gua sebagai sumber daya alam yang langka.
Pelaku vandalisme gua dengan demikian tidak terbatas pada penulusur gua musiman (penggiat alam bebas), tetapi termasuk pula penggali fosfat, pengunduh sarang burung walet, pemburu kelelawar, kontraktor pembangunan fisik, dan pengelola gua, bahkan juga ilmuwan yang kurang berhati-hati dalam usaha sampling dan kegiatan lain di dalam gua.
Di luar negeri secara tajam telah disorot bobot/derajat perusakan gua oleh para penelusur gua musiman dan para kontraktor obyek wisata gua dan pengelolanya. Dengan kesimpulan bahwa secara kualitatif kategori kedua ini menyebabkan kehancuran gua secara menyolok. Namun secara kuantitatif golongan pertama yang potensial bisa menimbulkan kerusakan gua secara merata. Apabila kontraktor dan pengelola gua sering mengakibatkan kerusakan intensif pada suatu atau beberapa gua yang secara salah ditangani oleh mereka, maka penelusur gua kategori “penggiat alam bebas” dapat menimbulkan perusakan pada banyak gua sekaligus.
Para kontraktor juga tidak memahami dan tidak qualified untuk mengerjakan analisis dampak lingkungan, kaidah estetika dan civil engineering di bawah tanah, sementara pengelola tidak memahami apa yang dinamakan daya dukung gua, pencapaian, pemintakan, nilai ilmiah dan estetika gua.
Bila kita hendak membicarakan cara-cara penanggulangannya, harus kita sadari bahwa setiap tindakan pencegahan maupun korektif harus berdasarkan undang-undang dan peraturan-peraturan pemerintah. Kiranya yang paling tepat adalah menerapkan undang-undang lingkungan hidup dan petunjuk pelaksanaannya dengan mengakui gua beserta seluruh isinya (mineral, biota, air) sebagai sumber daya alam langka yang seluruhnya perlu dilindungi.
Perusakan atau efek negatif yang disebabkan oleh ulah manusia, seyogyanya dikenakan hukuman atau denda. Di Amerika Serikat setiap usaha merusak formasi gua atau mengusik biota gua, diancam denda sampai US $ 500 perorang, menurut undang-undang beberapa negara bagian yang memiliki gua-gua sebagai sumber daya alam.
Menangani gua untuk dijadikan objek wisata alam sudah diakui sebagai pekerjaan yangrumit sekali dan perlu penanganan secara terpadu, multidipliner dan hati-hati. Untuk memeriksa apakah setiap tindakan itu tepat diadakan National Cave Management Symposium secara teratur setahun sekali di Amerika Serikat yang dihadiri oleh ahli-ahli speleologi, geologi, hidrologi, karstologi, arkeologi, paleontologi, turisme, kehutanan, pengelola gua, pengelola taman nasional, pendidikan pemandu wisata, ekonomi, hukum dan para pemilik (swasta) gua-gua komersil.
Setiap rencana melakukan intervensi fisik interior maupun eksterior gua akan didahului konsultasi luas secara horisontal maupun vertikal (bottom-up) oleh dan antara para pengelola dengan para ilmuwan agar jangan sampai tindakan yang diambil justru akan merusak gua. Setelitinya tindakan yang dilakukan pihak pengelola, masih saja bisa timbul efek-efek negatif yang tidak diperkirakan sebelumnya, seperti kasus pengeringan Gua Waitomo di Selandia Baru dan Gua Carlsbad. Yang pertama karena dibuatkan jendela karst untuk memperbaiki sirkulasi udara, yang kedua oleh pemasangan lift ke interior gua dan pengaspalan tempat parkir tepat di atas gua.
Di Indonesia nyata-nyata para kontraktor dan pengelola tidak memahami seluk belum lingkungan bawah tanah. Namun berani sekali megutak-atik fisik gua, hanya berlandaskan motivasi keuntungan ekonomis jangka pendek semata-mata. Mereka tidak pernah berkonsultasi denga para ahli speleplogi, ekologi, biologi, arkeologi maupun ahli lainnya. Hanya sesekaili berkonsultasi dengan geologiwan yang kurang memahami speleologi. Apalagi ekosistem mikro gua dan nilai sedimentologinya. Pemikiran, apalagi tidak kurang rasional yang berakibat rusaknya gua ini bagaimanapun juga harus dikategorikan sebagai vandalisme gua.
Kiranya yang paling tepat adalah kesadaran bahwa setiap tindakan apapun jenisnya terhadap gua dan lingkungannya merupakan tindakan yang tidak atau sulit diperbaiki efeknya. Hal ini terutama berlaku bagi gua-gua karstik. Untuk itulah sebelum melakukan suatu tindakan fisik, wajiblah didahului konsultasi intensif dan analisis dampak lingkungan secara terpadu dan multidisipliner.
Sumber : R.K.T. Ko (Speleologiwan Indonesia)
Sabtu, 20 Maret 2010
"PEMANFAATAN KAWASAN KARST"
Secara ringkas pemanfaatan kawasan karst dapat dibagi dalam strategi pemanfaatan jangka pendek, tidak berkelanjutan, dan pemanfaatan jangka panjang yang sifatnya berkelanjutan, yaitu :
1. Hidrologi.
Karst sangat berperan dalam pengaturan tata air. Struktur bebatuan karst yang sarang (porous) dan lulus (permeable) memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air yang sangat besar. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan sumber daya air karst ini, yaitu faktor kualitas dan kuantitas airnya. Kebanyakan air di kawasan karst tercemar tinja dan memerlukan teknologi tepat guna untuk membersihkan agar dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
2. Biodiversity.
Kawasan karst memiliki keanekaragaman hayati yang sangat spesifik dan terbatas jumlahnya. Beberapa spesies flora dan fauna kawasan karst trgolong endemik dan bernilai ekonomi tinggi, serta memegang peran penting untuk menjaga keseimbangan ekologi. Bila terjadi gangguan terhadap habitatnya, akan berdampak negatif terhadap eksistensinya. Flora dan fauna endemis tersebut juga memiliki nilai ilmiah sebagai plasma nutfah dan nilai ekonomi. Beberapa tanaman yang tumbuh di kawasan karst potensial ada yang memiliki khasiat obat. Contoh : kawasan karst Gunung Batu di Kabupaten Balangan (KalSel) yang banyak terdapat tumbuhan Tabat Barito dan berbagai spesies anggrek.
Keanekaragaman hayati kawasan karst perlu diidentifikasi, diinventarisasi dan ditentukan prioritas pemanfaatannya dari segi ekonomi, yaitu sebagai komoditi dagang, atau sebagai objek penelitian dan pelestarian.
3. Arkeologi dan Paleontologi.
Pada beberapa kawasan karst ditemukan peninggalan-peninggalan dari masa prasejarah, terutama di dalam gua-guanya berupa fosil-fosil atau gambar-gambar simbolik pada dinding gua dan alat-alat buatan manusia purba. Temuan-temuan ini dapat dijadikan sarana pendidikan arkeologi dan paleontologi untuk mempelajari kehidupan binatang dan kebudayaan manusia purba pada jaman prasejarah. Contoh : Kawasan karst Sangkulirang (KalTim), Kawasan Karst Maros, kawasan karst Batu Buli Kab. Tabalong (KalSel). Nilai kawasan karst di bidang arkeologi dan paleontologi wajib didata. Pemanfaatannya adalah di bidang ilmiah, pariwisata, dan pendidikan.
4. Budaya.
Beberapa kawasan karst, terutama sumber-sumber air dan gua-guanya memiliki nilai budaya, karena memiliki legenda turun-temurun dan upacara tradisonal. Ada pula yang memiliki nilai sejarah. Beberapa gua juga dijadikan objek ziarah, dan bertapa. Nilai budaya kawasan karst dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata ziarah atau wisata budaya.
5. Pariwisata.
Beberapa kawasan karst memiliki potensi sebagai objek wisata alam, yang juga memiliki nilai edukatif. Yang paling sering dikembangkan sebagai objek wisata, adalah gua-gua yang indah bernilai estetika tinggi. Bila masih utuh keanekaragaman hayatinya, dapat dikembangkan sebagai objek ekoturisme. Lingkungan alam asli dibiarkan utuh tanpa mengembangkan sarana fisik secara berlebihan. Dalam pengembangan ekoturisme ini, masyarakat setempat sebagai komponen ekosistem karst wajib diberi pengertian, dididik dan dilibatkan dalam aneka kegiatan berkelanjutan sebagai penunjang kegiatan ekoturisme.
6. Pertambangan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal nilai ekonomi karst sebagai bahan tambang berupa kalsium karbonat, magnesium karbonat, kalsium magnesium karbonat, marmer, guano, dan fosfat dalam gua. Karena kawasan karst merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat diperbaharui, maka pemanfaatan kawasan karst untuk pertambangan harus berdasarkan AMDAL yang dibuat oleh para pakar secara holistik terpadu dan lintas sektoral.
*) Bahan acuan :
R.K.T. Ko, et all, 2003. Strategi Pengelolaan Kawasan Karst. Rangkuman Materi Kuliah dan Hasil Diskusi pada Kursus Introduksi Pengelolaan Kawasan Karst oleh Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia, Cisarua.
1. Hidrologi.
Karst sangat berperan dalam pengaturan tata air. Struktur bebatuan karst yang sarang (porous) dan lulus (permeable) memiliki kemampuan menyerap dan menyimpan air yang sangat besar. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan sumber daya air karst ini, yaitu faktor kualitas dan kuantitas airnya. Kebanyakan air di kawasan karst tercemar tinja dan memerlukan teknologi tepat guna untuk membersihkan agar dapat dimanfaatkan sebagai air minum.
2. Biodiversity.
Kawasan karst memiliki keanekaragaman hayati yang sangat spesifik dan terbatas jumlahnya. Beberapa spesies flora dan fauna kawasan karst trgolong endemik dan bernilai ekonomi tinggi, serta memegang peran penting untuk menjaga keseimbangan ekologi. Bila terjadi gangguan terhadap habitatnya, akan berdampak negatif terhadap eksistensinya. Flora dan fauna endemis tersebut juga memiliki nilai ilmiah sebagai plasma nutfah dan nilai ekonomi. Beberapa tanaman yang tumbuh di kawasan karst potensial ada yang memiliki khasiat obat. Contoh : kawasan karst Gunung Batu di Kabupaten Balangan (KalSel) yang banyak terdapat tumbuhan Tabat Barito dan berbagai spesies anggrek.
Keanekaragaman hayati kawasan karst perlu diidentifikasi, diinventarisasi dan ditentukan prioritas pemanfaatannya dari segi ekonomi, yaitu sebagai komoditi dagang, atau sebagai objek penelitian dan pelestarian.
3. Arkeologi dan Paleontologi.
Pada beberapa kawasan karst ditemukan peninggalan-peninggalan dari masa prasejarah, terutama di dalam gua-guanya berupa fosil-fosil atau gambar-gambar simbolik pada dinding gua dan alat-alat buatan manusia purba. Temuan-temuan ini dapat dijadikan sarana pendidikan arkeologi dan paleontologi untuk mempelajari kehidupan binatang dan kebudayaan manusia purba pada jaman prasejarah. Contoh : Kawasan karst Sangkulirang (KalTim), Kawasan Karst Maros, kawasan karst Batu Buli Kab. Tabalong (KalSel). Nilai kawasan karst di bidang arkeologi dan paleontologi wajib didata. Pemanfaatannya adalah di bidang ilmiah, pariwisata, dan pendidikan.
4. Budaya.
Beberapa kawasan karst, terutama sumber-sumber air dan gua-guanya memiliki nilai budaya, karena memiliki legenda turun-temurun dan upacara tradisonal. Ada pula yang memiliki nilai sejarah. Beberapa gua juga dijadikan objek ziarah, dan bertapa. Nilai budaya kawasan karst dapat dimanfaatkan sebagai objek wisata ziarah atau wisata budaya.
5. Pariwisata.
Beberapa kawasan karst memiliki potensi sebagai objek wisata alam, yang juga memiliki nilai edukatif. Yang paling sering dikembangkan sebagai objek wisata, adalah gua-gua yang indah bernilai estetika tinggi. Bila masih utuh keanekaragaman hayatinya, dapat dikembangkan sebagai objek ekoturisme. Lingkungan alam asli dibiarkan utuh tanpa mengembangkan sarana fisik secara berlebihan. Dalam pengembangan ekoturisme ini, masyarakat setempat sebagai komponen ekosistem karst wajib diberi pengertian, dididik dan dilibatkan dalam aneka kegiatan berkelanjutan sebagai penunjang kegiatan ekoturisme.
6. Pertambangan.
Masyarakat Indonesia pada umumnya hanya mengenal nilai ekonomi karst sebagai bahan tambang berupa kalsium karbonat, magnesium karbonat, kalsium magnesium karbonat, marmer, guano, dan fosfat dalam gua. Karena kawasan karst merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaiki dan tidak dapat diperbaharui, maka pemanfaatan kawasan karst untuk pertambangan harus berdasarkan AMDAL yang dibuat oleh para pakar secara holistik terpadu dan lintas sektoral.
*) Bahan acuan :
R.K.T. Ko, et all, 2003. Strategi Pengelolaan Kawasan Karst. Rangkuman Materi Kuliah dan Hasil Diskusi pada Kursus Introduksi Pengelolaan Kawasan Karst oleh Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia, Cisarua.
"VEGETASI KAWASAN KARST"
Kawasan karst peka terhadap erosi, terutama apabila derajat kemiringan tebing-tebingnya besar, seperti pada conical atau towerkarst. Erosi tidak selalu berupa erosi permukaan, dimana tanah terhanyut oleh sungai-sungai permukaan di musim hujan ke daerah-daerah yang letaknya lebih rendah atau cekungan-cekungan, tetapi di kawasan karst, yangpenting ialah erosi melalui rekahan-rekahan yang dijumpai pada hampir seluruh lapisan batu gamping. Melalui rekahan-rekahan atau celah-celah ini, tanah akan dihanyutkan oleh air hujan dan sungai permukaan yang biasanya hanya mengalir sewaktu hujan, ke dalam rongga-rongga di bawah tanah. Jumlah rekahan, arahan dan luasnya tergantung pada berbagai faktor, seperti litologi, gerakan tektonis, porositas intragranuler batu gamping dan tebalnya humus yang menutupi tanah kawasan karst.
Jenis tanaman karst di daerah-daerah yang belum dijamah manusia memang ada yang endemis, dan hanya tumbuh pada kawasan karst tersebut karena mempunyai afinitas terhadap susunan batu gamping di tempat itu. Erat hubungannya dengan endemisme vegetasi tersebut, kiranya dapat dihubungkan adanya beberapa jenis fauna yang endemis untuk suatu daerah karst. Misalanya, keong-keong tertentu bahkan ada satu jenis keong yang hanya didapati di satu bukit batu gamping tertentu di Malaysia.
Penyebaran jenis tanaman di suatu kawasan karst dapat terjadi melalui burung (aviafauna : biji-bijian, spora) atau melalui hembusan angin (spora) dan arus air permukaan (biji-bijian, spora, kecambah, anakan,dsbnya). Kegiatan manusia mulai dari penggundulan hutan atau agrikultur juga akan merubah tata tanaman di suatu lingkungan karst. Penanaman kembali beberapa jenis flora juga akan merubah pola tumbuh-tumbuhan di kawasan karst, sehingga silvikultur akan berubah sebagian atau total. Hidrologi yang khas untuk setiap kawasan karst yang dapat berbeda dari suatu kawasan karst dengan yang lain, ketinggian di atas permukaan laut yang berbeda pula, iklim (curah hujan) yang berlainan, susunan tanah yang bervariasi (derajat keasaman, kandungan mineral, kimiawi tanah, mikrofauna tanah) juga akan mempengaruhi sukses tidaknya, lama atau sebentarnya beberapa jenis tumbuhan dapat berkembang.
Apabila kondisi menguntungkan, maka jenis-jenis tanaman tertentu akan tumbuh dengan baik sejak semula. Tetapi bila kondisi kurang menguntungkan, maka mula-mula akan terlihat betapa sulitnya sejenis tumbuhan yang diintroduksi itu hidup, bahkan mungkin akan mati semuanya.
Ada beberapa semak yang sangat karakteristik untuk batu gamping, karena mempunyai afinitas terhadap bahan tersebut. Disebut dengan istilah tanaman calcicolous. Misalnya boea, chirita, monophyllaea, paraboea (gesneriaceae). Puncak perbukitan batu gamping hutan basah tropika di Sarawak dengan jenis tanah yang kurang sekali kesuburannya, bersifat asam (pH=4,5) menumbuhkan tanaman sistem karangas, seperti nephentes, vaccinium, rhododendron. Pada pinnacle karst di Papua New Guinea tumbh jenis pohon casuarina papuana, agathis labillardieri, hal mana juga ditemukan pada perbukitan waigeo di Irian Jaya, pada tanah gambut masam. Di Tanam Nasional Gunung Mulu di Sarawak, terlihat tumbuh di kawasan batu gamping, conifer dacrydium becorii, phyllocladus hypophyllus dan myrica esculenta.
Di samping itu juga tumbuh beberapa jenis tanaman yang menyukai lokasi terjal atau tergantung (overhang) seperti pada bukit-bukit dan lereng-lereng terjal batu gamping. Jenis tanaman ini digolongkan dalam kelompok cremnophytes, antara lain termasuk alam golongan ini adalah pohon beringin dan berbagai jenis paku-pakuan.
Sebelum melakukan penghijauan suatu kawasan karst, hendaknya dibahas dulu secara seksama secara multidisipliner, lintas sektoral, apa tujuan dari penghijauan itu. Apakah untuk memperbaiki oro-hidrologi, memperbaiki keadaan sosioekonomi rakyat setempat, untuk hutan produktif, untuk tujuan wisata alam, untuk konservasi tanah (mencegah erosi), untuk penunjang bagi usaha peternakan, pembakaran batu gamping menjadi kapur, ataukah untuk tujuan ilmiah (silvikultur, plasma nutfah, flora-fauna karst, dll). Erat dengan tujuan itu setiap tindakan hendaknya dilaksanakan secara konsekuen dan terintegrasi secara konsisten.
Mula-mula harus ditentukan jenis tanaman mana yang potensial untuk digunakan (sesuai dengan ketinggian lokasi di atas permukaan laut, jenis dan luas tanah tersedia, sudut kemiringan, iklim, curah hujan, dana yang tersedia, sarana dan prasarana, waktu tanam, segi ekonomis, jangka waktu yang disediakan untuk penghijauan kembali).
Misalnya untuk memperbaiki hidrologi suatu kawasan karst yang sudah gundul, cukup dilakukan penghijauan dengan menanam aneka semak belukar maupun tanaman penutup tanah (ground cover vegetation) yang cepat tumbuh dan tahan kekeringan. Menanami kawasan karst dengan jenis-jenis pohon dengan laju penguap-peluhan tinggi, seperti pinus mercusii dan aneka jenis eucalypti yang tahan kekeringan seperti eucalyptus urophylla dan E.alba akan berdampak lebih mengeringkan tanah. Hal ini dikarenakan sistem perakarannya yang menginvasi percelahan-rekahan batu gamping yang terkarstifikasi, juga akan melebarkan celah-rekah itu melalui proses pelarutan kimia. Celah-rekah yang melebar itu kemudian memudahkan terjadinya erosi tanah ke dalam interior karst, hal mana bermanifestasi sebagai lapisan lumpur tebal pada dasar sungai-sungai bawah tanah (erosion en fissure).
Untuk meneliti silvikultur secara ilmiah di kawasan karst dan memonitori ekologi lingkungan harus diadakan pencatatan secara cermat dan teratur dari curah hujan, debit dan fluktuasi debit sungai di dalam gua, taksonomi, daerah penyebaran, frekuensi dan diversifikasi berbagai fauna dengan stres pada aviafauna dan serangga (siang dan malam), sebagai agens penyebar serbuk bunga, spora dan biji-bijian. Kelelawar, burung seriti dan walet penghuni gua juga perlu dimonitor karena erat kaitannya dengan kondisi vegetasi di luar gua dan jumlah serangga yang dimangsa oleh hewan itu.
Usaha memonitor kualitas tanah (fisik, kimiawi) perlu dikerjakan karena keadaannya tidak mungkin statis, dan akan mengalami perubahan kualitas dengan semakin banyaknya tanaman tumbuh. Penyelidikan sedimen di atas kawasan karst ini seyogyanya dilaksankan sambil menyelidiki kualitas dan kuantitas sedimen gua, untuk dapat memonitor perubahan vegetasi tingkat kesuburan di atas tanah.
Denudasi karst dan kecepatannya harus diukur. Makin banyak vegetasi dan sisa-sisa organik yang tertumpuk di sautu kawasan karst, makin cepat timbul denudasi oleh daya korosif air hujan yang tercemar dengan humus akibat kandungan CO2 galak di dalamnya. Untuk itu perlu diletakkan satu bongkahan batu gamping dengan ukuran tertentu, diletakkan di suatu tempat terbuka, dan diukur secara berkala (dua kali setahun) untuk diukur kembali dengan cermat (pakai mikrometer) berapa persen yang terlarut dalam setahun, dilengkapi data curah hujan pada periode tersebut. Data yang diperoleh ini penting untuk dibandingkan dengan data jumlah batu gamping yang larut dalam satuan waktu yang sama, curah hujan yang sama, yang didapatkan dengan mengukur kesadahan (kandungan Ca(HCO3)2) dari sungai di dalam gua pada periode itu. Semakin berhasil penghijauan, semakin besar denudasi karst yang akan terjadi.
Kesuburan tanah juga seyogyanya dimonitor dengan bantuan mikrofauna tanah seperti Collembola. Collembola secara internasional telah dipakai sebagai parameter kesuburan tanah. Jenis (spesies) sangat banyak. Spesifik sekali untuk satu lokasi. Untuk dokumentasi telah disusun Internasional Register of Collembola di luar negeri, antara lain dapat dilihat di laboratorium di bawah tanah MOULIS dari CNRS (Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis). Dari Indonesia baru dikenal sekitar 18 spesies Collembola bawah tanah (subsoil) dan belum satupun Collembola gua yang dikenal. Memonitor dinamika pembentukan tanah dan tingkat kesuburan di daerah karst hendaknya dilaksanakan secara simultan dengan menyelidiki spesies dan kuantitas (kepadatan per M2) Collembola di atas dan di dalam gua. Makin berhasil usaha penghijauan suatu kawasan karst, makin banyak jenis dan kepadatan populasi Collembola perunit luas.
Dari uraian di atas kiranya jelas, bahwa menentukan vegetasi mana yang cocok untuk suatu kawasan karst tertentu tidaklah mudah. Tergantung kepada tujuan penghijauannya. Sifat fisik an kimiawi tanah, iklim, curah hujan, ketinggian di atas permukaan laut, bahkan juga tergantung pada vulkanisme di kawasan tersebut. Juga tergantung ada tidaknya agens-agens penyebarnya. Atau fauna tanah yang membantu menyuburkan tanah di tempat itu. Karena itulah setiap usaha penghijauan suatu kawasan karst harus didahului oleh suatu studi menyeluruh secara multidisipliner, lintas sektoral, dimana sifat fisik karst itu sendiri dan pedologinya mendapatkan prioritas tertinggi di samping sifat hidrologinya yang dapat berbeda dari satu bagian kawasan karst ke bagian lain dari kawasan yang sama.
Sukses tidaknya tergantung pada pilihan tepat dari pada jenis-jenis tanamannya yang disesuaikan dengan tujuan penghijauan itu, perawatannya secara kontinyu dan ketekunan dari pihak pengelola yangtidakmengenal lelah. Bonus daripada berhasilnya penghijauan tersebut adalah pemandangan elok, menghijau yang mempunyai nilai kepariwisataan yang tinggi, di samping tentunya orohidrologi yang mantap. Tidak mengenal adanya banjir (terutama di dalam gua) sewaktu musim hujan dan sewaktu musim kemarau tetap tersedia air bersih yang dapat dimanfaatkan rakyat di kawasan karst itu.
* KEPUSTAKAAN *
Darmokusumo, D, 1985. Pengembangan Daerah Karst di Kawasan Berbatu Kapur Kabupaten Gunung Kidul Dengan Segala Pemasalahannya. Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta.
Hani’in, O, et all, 1985. Pembangunan Hutan di Daerah Batu Gamping Wanagama I. Makalah Pada Sarasehan Lingkungan Karst, Jakarta.
Manan, S, 1985. Fungsi Hutan di Daerah Batu Gamping. Makalah Pada Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta.
R.K.T. Ko, 1985. Penelitian Sedimen Gua Karstik Sebagai Salah Satu Upaya Memonitori Pedogenesis dan Kualitas Tanah di Kawasan Karst. Ceramah Ilmiah Pada Jurusan Tanah IPB.
Jenis tanaman karst di daerah-daerah yang belum dijamah manusia memang ada yang endemis, dan hanya tumbuh pada kawasan karst tersebut karena mempunyai afinitas terhadap susunan batu gamping di tempat itu. Erat hubungannya dengan endemisme vegetasi tersebut, kiranya dapat dihubungkan adanya beberapa jenis fauna yang endemis untuk suatu daerah karst. Misalanya, keong-keong tertentu bahkan ada satu jenis keong yang hanya didapati di satu bukit batu gamping tertentu di Malaysia.
Penyebaran jenis tanaman di suatu kawasan karst dapat terjadi melalui burung (aviafauna : biji-bijian, spora) atau melalui hembusan angin (spora) dan arus air permukaan (biji-bijian, spora, kecambah, anakan,dsbnya). Kegiatan manusia mulai dari penggundulan hutan atau agrikultur juga akan merubah tata tanaman di suatu lingkungan karst. Penanaman kembali beberapa jenis flora juga akan merubah pola tumbuh-tumbuhan di kawasan karst, sehingga silvikultur akan berubah sebagian atau total. Hidrologi yang khas untuk setiap kawasan karst yang dapat berbeda dari suatu kawasan karst dengan yang lain, ketinggian di atas permukaan laut yang berbeda pula, iklim (curah hujan) yang berlainan, susunan tanah yang bervariasi (derajat keasaman, kandungan mineral, kimiawi tanah, mikrofauna tanah) juga akan mempengaruhi sukses tidaknya, lama atau sebentarnya beberapa jenis tumbuhan dapat berkembang.
Apabila kondisi menguntungkan, maka jenis-jenis tanaman tertentu akan tumbuh dengan baik sejak semula. Tetapi bila kondisi kurang menguntungkan, maka mula-mula akan terlihat betapa sulitnya sejenis tumbuhan yang diintroduksi itu hidup, bahkan mungkin akan mati semuanya.
Ada beberapa semak yang sangat karakteristik untuk batu gamping, karena mempunyai afinitas terhadap bahan tersebut. Disebut dengan istilah tanaman calcicolous. Misalnya boea, chirita, monophyllaea, paraboea (gesneriaceae). Puncak perbukitan batu gamping hutan basah tropika di Sarawak dengan jenis tanah yang kurang sekali kesuburannya, bersifat asam (pH=4,5) menumbuhkan tanaman sistem karangas, seperti nephentes, vaccinium, rhododendron. Pada pinnacle karst di Papua New Guinea tumbh jenis pohon casuarina papuana, agathis labillardieri, hal mana juga ditemukan pada perbukitan waigeo di Irian Jaya, pada tanah gambut masam. Di Tanam Nasional Gunung Mulu di Sarawak, terlihat tumbuh di kawasan batu gamping, conifer dacrydium becorii, phyllocladus hypophyllus dan myrica esculenta.
Di samping itu juga tumbuh beberapa jenis tanaman yang menyukai lokasi terjal atau tergantung (overhang) seperti pada bukit-bukit dan lereng-lereng terjal batu gamping. Jenis tanaman ini digolongkan dalam kelompok cremnophytes, antara lain termasuk alam golongan ini adalah pohon beringin dan berbagai jenis paku-pakuan.
Sebelum melakukan penghijauan suatu kawasan karst, hendaknya dibahas dulu secara seksama secara multidisipliner, lintas sektoral, apa tujuan dari penghijauan itu. Apakah untuk memperbaiki oro-hidrologi, memperbaiki keadaan sosioekonomi rakyat setempat, untuk hutan produktif, untuk tujuan wisata alam, untuk konservasi tanah (mencegah erosi), untuk penunjang bagi usaha peternakan, pembakaran batu gamping menjadi kapur, ataukah untuk tujuan ilmiah (silvikultur, plasma nutfah, flora-fauna karst, dll). Erat dengan tujuan itu setiap tindakan hendaknya dilaksanakan secara konsekuen dan terintegrasi secara konsisten.
Mula-mula harus ditentukan jenis tanaman mana yang potensial untuk digunakan (sesuai dengan ketinggian lokasi di atas permukaan laut, jenis dan luas tanah tersedia, sudut kemiringan, iklim, curah hujan, dana yang tersedia, sarana dan prasarana, waktu tanam, segi ekonomis, jangka waktu yang disediakan untuk penghijauan kembali).
Misalnya untuk memperbaiki hidrologi suatu kawasan karst yang sudah gundul, cukup dilakukan penghijauan dengan menanam aneka semak belukar maupun tanaman penutup tanah (ground cover vegetation) yang cepat tumbuh dan tahan kekeringan. Menanami kawasan karst dengan jenis-jenis pohon dengan laju penguap-peluhan tinggi, seperti pinus mercusii dan aneka jenis eucalypti yang tahan kekeringan seperti eucalyptus urophylla dan E.alba akan berdampak lebih mengeringkan tanah. Hal ini dikarenakan sistem perakarannya yang menginvasi percelahan-rekahan batu gamping yang terkarstifikasi, juga akan melebarkan celah-rekah itu melalui proses pelarutan kimia. Celah-rekah yang melebar itu kemudian memudahkan terjadinya erosi tanah ke dalam interior karst, hal mana bermanifestasi sebagai lapisan lumpur tebal pada dasar sungai-sungai bawah tanah (erosion en fissure).
Untuk meneliti silvikultur secara ilmiah di kawasan karst dan memonitori ekologi lingkungan harus diadakan pencatatan secara cermat dan teratur dari curah hujan, debit dan fluktuasi debit sungai di dalam gua, taksonomi, daerah penyebaran, frekuensi dan diversifikasi berbagai fauna dengan stres pada aviafauna dan serangga (siang dan malam), sebagai agens penyebar serbuk bunga, spora dan biji-bijian. Kelelawar, burung seriti dan walet penghuni gua juga perlu dimonitor karena erat kaitannya dengan kondisi vegetasi di luar gua dan jumlah serangga yang dimangsa oleh hewan itu.
Usaha memonitor kualitas tanah (fisik, kimiawi) perlu dikerjakan karena keadaannya tidak mungkin statis, dan akan mengalami perubahan kualitas dengan semakin banyaknya tanaman tumbuh. Penyelidikan sedimen di atas kawasan karst ini seyogyanya dilaksankan sambil menyelidiki kualitas dan kuantitas sedimen gua, untuk dapat memonitor perubahan vegetasi tingkat kesuburan di atas tanah.
Denudasi karst dan kecepatannya harus diukur. Makin banyak vegetasi dan sisa-sisa organik yang tertumpuk di sautu kawasan karst, makin cepat timbul denudasi oleh daya korosif air hujan yang tercemar dengan humus akibat kandungan CO2 galak di dalamnya. Untuk itu perlu diletakkan satu bongkahan batu gamping dengan ukuran tertentu, diletakkan di suatu tempat terbuka, dan diukur secara berkala (dua kali setahun) untuk diukur kembali dengan cermat (pakai mikrometer) berapa persen yang terlarut dalam setahun, dilengkapi data curah hujan pada periode tersebut. Data yang diperoleh ini penting untuk dibandingkan dengan data jumlah batu gamping yang larut dalam satuan waktu yang sama, curah hujan yang sama, yang didapatkan dengan mengukur kesadahan (kandungan Ca(HCO3)2) dari sungai di dalam gua pada periode itu. Semakin berhasil penghijauan, semakin besar denudasi karst yang akan terjadi.
Kesuburan tanah juga seyogyanya dimonitor dengan bantuan mikrofauna tanah seperti Collembola. Collembola secara internasional telah dipakai sebagai parameter kesuburan tanah. Jenis (spesies) sangat banyak. Spesifik sekali untuk satu lokasi. Untuk dokumentasi telah disusun Internasional Register of Collembola di luar negeri, antara lain dapat dilihat di laboratorium di bawah tanah MOULIS dari CNRS (Lembaga Ilmu Pengetahuan Perancis). Dari Indonesia baru dikenal sekitar 18 spesies Collembola bawah tanah (subsoil) dan belum satupun Collembola gua yang dikenal. Memonitor dinamika pembentukan tanah dan tingkat kesuburan di daerah karst hendaknya dilaksanakan secara simultan dengan menyelidiki spesies dan kuantitas (kepadatan per M2) Collembola di atas dan di dalam gua. Makin berhasil usaha penghijauan suatu kawasan karst, makin banyak jenis dan kepadatan populasi Collembola perunit luas.
Dari uraian di atas kiranya jelas, bahwa menentukan vegetasi mana yang cocok untuk suatu kawasan karst tertentu tidaklah mudah. Tergantung kepada tujuan penghijauannya. Sifat fisik an kimiawi tanah, iklim, curah hujan, ketinggian di atas permukaan laut, bahkan juga tergantung pada vulkanisme di kawasan tersebut. Juga tergantung ada tidaknya agens-agens penyebarnya. Atau fauna tanah yang membantu menyuburkan tanah di tempat itu. Karena itulah setiap usaha penghijauan suatu kawasan karst harus didahului oleh suatu studi menyeluruh secara multidisipliner, lintas sektoral, dimana sifat fisik karst itu sendiri dan pedologinya mendapatkan prioritas tertinggi di samping sifat hidrologinya yang dapat berbeda dari satu bagian kawasan karst ke bagian lain dari kawasan yang sama.
Sukses tidaknya tergantung pada pilihan tepat dari pada jenis-jenis tanamannya yang disesuaikan dengan tujuan penghijauan itu, perawatannya secara kontinyu dan ketekunan dari pihak pengelola yangtidakmengenal lelah. Bonus daripada berhasilnya penghijauan tersebut adalah pemandangan elok, menghijau yang mempunyai nilai kepariwisataan yang tinggi, di samping tentunya orohidrologi yang mantap. Tidak mengenal adanya banjir (terutama di dalam gua) sewaktu musim hujan dan sewaktu musim kemarau tetap tersedia air bersih yang dapat dimanfaatkan rakyat di kawasan karst itu.
* KEPUSTAKAAN *
Darmokusumo, D, 1985. Pengembangan Daerah Karst di Kawasan Berbatu Kapur Kabupaten Gunung Kidul Dengan Segala Pemasalahannya. Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta.
Hani’in, O, et all, 1985. Pembangunan Hutan di Daerah Batu Gamping Wanagama I. Makalah Pada Sarasehan Lingkungan Karst, Jakarta.
Manan, S, 1985. Fungsi Hutan di Daerah Batu Gamping. Makalah Pada Simposium Nasional Lingkungan Karst, Jakarta.
R.K.T. Ko, 1985. Penelitian Sedimen Gua Karstik Sebagai Salah Satu Upaya Memonitori Pedogenesis dan Kualitas Tanah di Kawasan Karst. Ceramah Ilmiah Pada Jurusan Tanah IPB.
Langganan:
Postingan (Atom)